CERPEN PEMBANGUN JIWA

Sabtu, 05 November 2011

Tunggu Aku Di Surga


Mentari berangsur-angsur lenyap, pertanda hari mulai lelap, bergantian datangnya gelap. Tiba-tiba langit mendengus, memacarkan pijaran-pijaran cahaya, suaranya menggelegar, memekik gedang telinga. Kupercepat langkahku karena air hujan telah mengguyur tubuh kecilku. Tubuhku mulai menggigil, namun aku tak peduli, terusku menerobos hujan yang semakin deras.
            Tiba dirumah, aku langsung disuguhi sandiwara kehidupan yang memilukan. Aku melihat Bunda mengemasi barang-barangnya bersama kak Ayu dan adikku Monita. “Bunda mau kemana?” tanyaku gusar. “Maaf Nez, Bunda harus pergi. Bunda dan Ayahmu sudah tidak mungkin bersatu lagi,” kata Bunda.” Tapi Bunda…….. Inez ingin ikut bunda!” pintaku memelas.” Sekali lagi Bunda minta maaf Nez. Bunda tidak bisa membawamu pergi. Kamu harus tetap disini bersama Ayahmu. Bunda harap kamu mengerti,”tutur Bunda. ”Ta….ta…..pi……!” belum sempat aku selesai bicara, kak Ayu sudah memotong. ”Sudahlah Inez. Kamu sudah cukup dewasa untuk memahami perasaan Bunda. Kamu hanya akan membuat Bunda sedih, karena kamu akan selalu mengingatkan Bunda pada kematian Nara !”kata kak Ayu dengan pedas. “Baiklah, kalau memang jauh dari Inez bisa  membuat Bunda bahagia,” kataku mengalah dan berlalu meninggalkan mereka. Aku langsung berganti pakaian dan mengurung diri didalam kamar.
            Diluar, hujan masih belum reda. Sepertinya alam juga ikut menangis melihat Htiku yang sedang hancur berkeping – keeping. Rasanya aku ingin sekali menangis. Namun aku berusaha kuat. Bagiku menangis hanya membuatku lemah. Karena itu aku bertekad untuk tidak membiarkan air mataku menetes walau hanya satu tetes.
            Tiba – tiba pintu kamarku diketuk seseorang. “Non Inez, nyonya akan pergi sekarang. Apa Non Inez tidak mau menemui nyonya untuk yang terakhir kali?” Tanya mbak Iin pembantuku. Lidahku terasa kelu, aku tak mampu menjawab sepatah katapun. “Baiklah Non, saya tidak akan memaksa Non Inez!” kata mbak Iin sambil berlalu. Aku masih mematung. Beberapa saat kemudian aku membuka jendela kamarku. Samar – samar kulihat Bunda dan kedua saudaraku masuk kedalam mobil. Perlahan mobil itu meluncur menerobos hujan yang masih belum reda.
            Lalu kurebahkan tubuhku di ranjang. Aku merenung, mengingat peristiwa enam bulan yang lalu saat adikku Nara yang masih kecil meninggal dunia. Semua orang termasuk Bunda menyalahkanku. Memang pada waktu itu akulah yang menjaga Nara. Namun karena keteledoranku Nara mengalami kecelakaan.
             Sejak saat itulah sikap bunda mulai berubah padaku. Mungkin setiap melihatku Bunda akan selalu ingat pada kematian Nara. Bukan hanya Bunda tapi juga kak Ayu. Ia sepertinya juga tidak menyukaiku.
            Badai menerpa keluargaku lagi, semenjak kematian Nara, Ayah dan Bunda sering bertengkar. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Dan hari ini Bunda benar – benar meninggalkanku.
            Malam semakin larut. Akupun terlelap dalam mimpi panjangku. Saat aku terbangun dari tidurku. Aku merasakan sakit pada sekujur tubuhku. Sepertinya tubuhku demam karena kehujanan kemarin. Mbak Iin segera menghubungi pihak sekolah untuk meminta izin. Saat aku sedang sarapan, kepalaku terasa pusing dan akupun tak sadarkan diri.
            Saat aku siuman. Aku merasa berada ditempat asing. Mbak Iin dan Pak Uud, sopir pribadiku duduk disampingku dengan raut wajah diliputi rasa cemas dan was – was. “Aku dimana Mbak?” tanyaku dengan lemah. “Tadi non pingsan, jadi kami membawa non Inez k erumah sakit. Tadi saya sudah berusaha menghubung nyonya dan tuan, tapi mereka sulit sekali dihubungi, mungkin mereka terlalu sibuk,” Kata mbak Iin panjang lebar. “Ya sudah mbak! Terimakasih karena kalian masih peduli padaku”, kataku lagi. Mbak Iin dan Pak Uud hanya memandangiku dengan iba.
            Keesokan harinya aku diperbolehkan pulang. Sebelum pulang dokter berpesan. “Saya harap, satu minggu lagi anda bisa dating kemari dengan keluarga anda”, kata dokter. “Memang ada apa dok?” tanyaku penasaran. Saya hanya bisa mengatakannya satu minggu lagi, untuk memastikan penyakit yang anda idap.” Kata dokter. Aku mengangguk lemah, meskipun diliputi sejuta pertanyaan.
Hari berikutnya, aku sudah masuk sekolah seperti biasa. Disekolah aku menjalani kehidupanku seperti anak normal lainnya. Tertawa bersama, mencontek, beramai – ramai ke kantin bahkan juga ketiduran dikelas. Aku tidak mau terlalu larut dalam kesedihan. Karena itu aku tidak mau mencampur adukkan masalah dirumah dengan disekolah.
 Satu minggu telah berlalu. Aku sudah berusaha menghubungi kedua orang tuaku, namun mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dengan di antar Pak Uud aku pergi ke rumah sakit. Sebelum masuk aku menyuruh Pak Uud pulung terlebih dahulu. Setelah mengantri cukup lama, akhirnya tiba juga giliranku. Aku terpaksa berbohong dan mengatakan pada dokter kalau orang tuaku sedang di luar negeri dan aku tinggal sendiri di rumah. Sepertinya dokter itu percaya pada ucapanku.
            Sang dokter hanya tersenyum simpul. Lalu dokterpun bercerita panjang lebar tentang arti kehidupan. Perjuangan hidup juga arti keikhlasan. Sampai akhirnya cerita dokter berujung pada satu titik. Aku divonis mengidap kanker otak.
            Aku berjalan gontai meninggalkan rumah sakit. Akhirnya aku putuskan untuk tidak langsung pulang. Aku duduk di taman kota sambil merenung. Kutatap kolong langit yang sendu. “Ya Tuhan… kalau memang Engkau menghendaki semua ini demi kebaikanku, maka aku hanya bisa pasrah. Aku tahu, Engkau mengetahui apa yang tidak aku ketahui, maka ikhlaskanlah hatiku memerima ujian dari-Mu”, do’aku dalam hati. Air mataku hamper tumpah, namun aku berusaha menahan dan tetap tersenyum dengan kecut meratapi skenario kehidupanku.
Keesokan harinya, aku pergi kesekolah dan menjalani aktifitas seperti biasa. Sepulang sekolah, aku duduk di taman sekolah. Tiba – tiba Alea sahabatku sudah duduk disampingku. “Kamu kenapa Nez?” Tanya Alea. Aku menatapnya sejenak lalu memalingkan wajahku. “Kamu itu sahabatku dari kecil Nez, darii pancaran matamu sajasudah  bisa terbaca jelas kalau kamu ada masalah”, katanya panjang lebar.
Kemudian aku ceritakan semuanya pada Alea, tentang perceraina kedua orang tuaku, tentang kepergian bunda dan kedua saudaraku juga tentang penyakitku. “Kalau kamu ingin mencurahkan kesedihanmu dengan menangis, menangislah Nez. Mungkin itu bisa membuatmu lega,” kata Alea dengan mata berkaca – kaca.” Untuk apa?” tanyaku. “Menangis tidak akan menyelesaikan masalahku!” kataku datar. Alea menatapku dengan tatapan sendu. Air matanya mengucur deras. “Sudahlah Alea kamu tidak perlu bersedih. Mungkin ini memang jalan takdirku,”kataku menghiburnya. ”Inez, sahabatku, setegar itukah hatimu. Dulu saat semua orang menyalahkanmu akan kematian Nara kamu sama sekali tidak menangis. Bahkan saat orang tuamu bercerai dan Bundamu meninggalkanmu kamu masih bisa tersenyum. Dan sekarang penyakitmu juga tidak membuatmu meneteskan air mata, malahan en ktakau menghiburku, ”kata Alea. “Aku hanya tidak tahu dikasihani,” kataku datar. “Al bolehkah aku minta satu permintaan terakhir?” tanyaku bersungguh-sungguh. Ia mengangguk “Tolong antarkan surat ini kepada Bundaku, ini alamatnya,”pintaku sembari menyodorkan amplop. Ia mengangguk.
Sebelum pulang ke rumah, aku pergi ke makam Nara dengan diantar Pak Uud. Aku ingin mencurahkan perasaanku kepada Nara. “Nara…. Kakak lelah…. lelah sekali. Kakak sangat merindukanmu. Kakak ingin menyusulmu. Tunggu Kakak Nara,…. tunggu kakak di Surga,”kataku lemah. Tiba-tiba kepalaku terasa sakit dan duniaku terasa gelap. Aku seperti melihat Nara menggenggam tanganku dan aku hanya mengikutinya. Ia menuntutku ke suatu tempat yang membuatku merasa damai.
Sementara itu, Pak Uud yang melihat keadaan  itu segera membawaku ke rumah sakit. Dokter keluar dari ruanganku dan berkata “Maaf Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain”. Pak Uud terjatuh di lantai “Innalillahi wa innaillahi rajiun”, katanya lemas.
Alea memenuhi janjinya. Ia mengantarkan surat itu kepada Bunda. Saat tiba di sana, ternyata Bunda sudah mendapat kabar dari Pak Uud. Alea yang mengetahui kabar tersebut lemas dan shock. Dengan berlinangan air mata Bunda membuka  dan membaca surat itu.
Bandung, 19 Maret 2007
Teruntuk Bunda Yasmin
Tercinta
Bunda…. Inez tahu Bunda kecewa dan menderita Karena kepergian Nara. Kalau memang jauh dari Inez bisa membuat Bunda bahagia, Inez akan pergi. Meskipun begitu Bunda harus tahu, walaupun nanti kita akan berada di ruang waktu dan dimensi yang berbeda, percayalah Inez akan selalu menyayangi Bunda. Maafkan Inez Bunda dan terima kasih Karena Bunda pernah menjadi bagian hidup Inez yang paling indah.
Kutunggu Bunda di Surga
Ananda tercinta
Inez   
Setelah membaca surat itu. Bunda mengusap air matanya. Inez…..tunggu Bunda di Surga! Kata Bunda lirih.

0 komentar:

Posting Komentar