CERPEN PEMBANGUN JIWA

Sabtu, 05 November 2011

Tragedi



Mei 2010
Pemberontakan terjadi di desaku. Baku hantam antara TNI dan OPM tak dapat dihindarkan lagi. Korban bergelimpangan. Tak terkecuali Ayahku. Desaku luluh lantah. Anak kehilangan bapaknya. Istri menangisi suaminya, hening.
Tiga hari usai pemberontakan, desaku bangkit kembali. Warga yang tidak tahu apa – apa hanya mengutuk dirinya sendiri. Semua korban telah dikebumikan dengan upacara adat yang dipimpin kepala suku. Disaat itulah, terakhir melihat ayahku. Dalam hati, aku menyesali perbuatan kepala suku yang tak menghiraukan nasehat ayahku untuk mengungsikan warga. Desaku sudah taka man lagi.
Juli 2010
Aku menamatkan pendidikanku. Meski tak bergelar sarjana seperti orang – orang kota, namun aku bangga dengan pendidikanku. Bagi ibuku, aku orang terpelajar diantara masyarakat kampong yang masih primitive. Albert Mathius, itulah namaku. Nama pemberian dari mendiang ayahyang ku sayangi. Penduduk desa memanggilku Mathius.
Kabar akan kelulusankumenyebar ke penduduk desa. Mereka yang senang, memujiku tanpa henti. Dan mereka yang tidak suka, mencaci maki keluargaku karena dianggap melanggar adat nenek moyang.
Upacara adat digelar guna mensyukuri kelulusanku. Aku merasa bangga pada diriku sendiri. Diantara semua pemuda desa, akulah satu – satunya yang menamatkan sekolah jenjang SMA. Jarak antara sekolahku dan kampong memang cukup jauh. Delapan kilometer, namun itu tak menyurutkan kegigihanku mendapat pendidikan. Aku teringat dengan pesan ayahku. “Jangan sampai kita dibodohi orang – orang kota.”
Sebagai pemuda desa yang terpelajar, aku selalu hadir dalam rapat tetua suku. Ide – ideku untuk membangun desa yang lebih modern diterima oleh beberapa tetua, namun ada juga yang meremehkan kemampuanku. Mereka terlalu kolot dengan adat.
Perlahan kehidupan di desaku membaik, pendidikan mulai diterima. Selama delapan bulan desaku tenang dan damai. Namun peristiwa itu kembali terjadi.
Agustus 2011
Seorang laki – laki misterius dating ke desaku. Ia berusaha bernegosiasi dengan tetua suku. “Tidak bapa, aku tidak percaya dengan kata – kata lelaki itu.” Kataku usai lelaki itu pergi.
“Ini kesempatan baik untuk desa kita Mathius, kita akan menuju perubahan.” Kepala suku mulai membujukku. Aku tidak bergeming. Tampak wajah para tetua suku mulai sinis denganku. Namun aku tak menghiraukannya. Aku tak mau melakukan kesalahan yang akan berakibat fatal bagu sukuku. Hingga pada suatu malam laki – laki itu mendatangi rumahku.
“Aku tau posisimu anak muda, coba kau pikirkan lagi tawaranku ini.” Ujar lelaki itu.
“Aku tak percaya padamu lelaki bedebah! Kaulah yang menyebabkan desa ni tak aman!”
“Aku tau, kendali desa ini ada di tanganmu. Masyarakat lebih percaya padamu karena kau satu – satunya yang dapat mendapat pendidikan tinggi. Pertimbangkan lagi keputusanmu anak muda, sebelum hal yang tak kau inginkan terjadi.”
“Bedebah! Pergi kau dari rumahku!”
BRAK…
Dua minggu usai kejadian malam itu, penduduk mulai tak percaya padaku. Entah apa yang telah dilakukan lelaki itu, kini aku dan keluargaku dikucilkan, dan dikutuk telah melanggar adat leluhur. Hingga suatu malam aku melihat segerombolan orang masuk desaku. Mereka mengendap – endap seperti mencari sesuatu.
“Mama, kita harus pergi dari sini. Desa ini sudah tidak aman.” Ujarku kepada ibu.
Malam itu juga aku mengungsikan kerabatku dan orang – orang desa yang masih percaya padaku.
September 2011
Korban bergelimpangan. Entah apa yang mendasari tetua suku untuk menjual desaku. Entah berapa lembar uang yang mereka nikmati atas penderitaan penduduk. Mereka telah menjadikan sukuku sebagai budak.
Oktober 2011
Baku hantam TNI dan OPM kembali terjadi. Kali ini desaku menjadi pusat serangan. Aku tak tau apa yang ada dipikiran mereka hingga ingin melepaskan diri dari NKRI.
Diam-diam, aku mengungsikan satu persatu sukuku. Aku merasa mempunyai ikatan batin dengan sukuku. Saat aku menyelamatkan satu-satunya merah putih di desaku. Tiba-tiba
“DOR……..”
Tubuhku terhempas tak berdaya. Ku rasakan sunyi, sepi, dingin. Peluru itu bersarang di badanku. Entah TNI atau OPM yang menembakkub, aku tak tahu. Aku hanya dapat berkata.
“Mama, inilah aku Albert Mathius Putramu. Telah cukup pengapdianku pada sukuku. Kini aku pergi meninggalkanmu bersama merah putih ditanganku. Selamat tinggal mama, maafkan segala kesalahanku putramu ini”.
Semua gelap. Hanya tinggal desiran angin dingin yang menemani kepergianku.

0 komentar:

Posting Komentar