CERPEN PEMBANGUN JIWA

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 03 Februari 2012

Tragedi ~ ARISON

Sabtu, 05 November 2011

Tragedi



Mei 2010
Pemberontakan terjadi di desaku. Baku hantam antara TNI dan OPM tak dapat dihindarkan lagi. Korban bergelimpangan. Tak terkecuali Ayahku. Desaku luluh lantah. Anak kehilangan bapaknya. Istri menangisi suaminya, hening.
Tiga hari usai pemberontakan, desaku bangkit kembali. Warga yang tidak tahu apa – apa hanya mengutuk dirinya sendiri. Semua korban telah dikebumikan dengan upacara adat yang dipimpin kepala suku. Disaat itulah, terakhir melihat ayahku. Dalam hati, aku menyesali perbuatan kepala suku yang tak menghiraukan nasehat ayahku untuk mengungsikan warga. Desaku sudah taka man lagi.
Juli 2010
Aku menamatkan pendidikanku. Meski tak bergelar sarjana seperti orang – orang kota, namun aku bangga dengan pendidikanku. Bagi ibuku, aku orang terpelajar diantara masyarakat kampong yang masih primitive. Albert Mathius, itulah namaku. Nama pemberian dari mendiang ayahyang ku sayangi. Penduduk desa memanggilku Mathius.
Kabar akan kelulusankumenyebar ke penduduk desa. Mereka yang senang, memujiku tanpa henti. Dan mereka yang tidak suka, mencaci maki keluargaku karena dianggap melanggar adat nenek moyang.
Upacara adat digelar guna mensyukuri kelulusanku. Aku merasa bangga pada diriku sendiri. Diantara semua pemuda desa, akulah satu – satunya yang menamatkan sekolah jenjang SMA. Jarak antara sekolahku dan kampong memang cukup jauh. Delapan kilometer, namun itu tak menyurutkan kegigihanku mendapat pendidikan. Aku teringat dengan pesan ayahku. “Jangan sampai kita dibodohi orang – orang kota.”
Sebagai pemuda desa yang terpelajar, aku selalu hadir dalam rapat tetua suku. Ide – ideku untuk membangun desa yang lebih modern diterima oleh beberapa tetua, namun ada juga yang meremehkan kemampuanku. Mereka terlalu kolot dengan adat.
Perlahan kehidupan di desaku membaik, pendidikan mulai diterima. Selama delapan bulan desaku tenang dan damai. Namun peristiwa itu kembali terjadi.
Agustus 2011
Seorang laki – laki misterius dating ke desaku. Ia berusaha bernegosiasi dengan tetua suku. “Tidak bapa, aku tidak percaya dengan kata – kata lelaki itu.” Kataku usai lelaki itu pergi.
“Ini kesempatan baik untuk desa kita Mathius, kita akan menuju perubahan.” Kepala suku mulai membujukku. Aku tidak bergeming. Tampak wajah para tetua suku mulai sinis denganku. Namun aku tak menghiraukannya. Aku tak mau melakukan kesalahan yang akan berakibat fatal bagu sukuku. Hingga pada suatu malam laki – laki itu mendatangi rumahku.
“Aku tau posisimu anak muda, coba kau pikirkan lagi tawaranku ini.” Ujar lelaki itu.
“Aku tak percaya padamu lelaki bedebah! Kaulah yang menyebabkan desa ni tak aman!”
“Aku tau, kendali desa ini ada di tanganmu. Masyarakat lebih percaya padamu karena kau satu – satunya yang dapat mendapat pendidikan tinggi. Pertimbangkan lagi keputusanmu anak muda, sebelum hal yang tak kau inginkan terjadi.”
“Bedebah! Pergi kau dari rumahku!”
BRAK…
Dua minggu usai kejadian malam itu, penduduk mulai tak percaya padaku. Entah apa yang telah dilakukan lelaki itu, kini aku dan keluargaku dikucilkan, dan dikutuk telah melanggar adat leluhur. Hingga suatu malam aku melihat segerombolan orang masuk desaku. Mereka mengendap – endap seperti mencari sesuatu.
“Mama, kita harus pergi dari sini. Desa ini sudah tidak aman.” Ujarku kepada ibu.
Malam itu juga aku mengungsikan kerabatku dan orang – orang desa yang masih percaya padaku.
September 2011
Korban bergelimpangan. Entah apa yang mendasari tetua suku untuk menjual desaku. Entah berapa lembar uang yang mereka nikmati atas penderitaan penduduk. Mereka telah menjadikan sukuku sebagai budak.
Oktober 2011
Baku hantam TNI dan OPM kembali terjadi. Kali ini desaku menjadi pusat serangan. Aku tak tau apa yang ada dipikiran mereka hingga ingin melepaskan diri dari NKRI.
Diam-diam, aku mengungsikan satu persatu sukuku. Aku merasa mempunyai ikatan batin dengan sukuku. Saat aku menyelamatkan satu-satunya merah putih di desaku. Tiba-tiba
“DOR……..”
Tubuhku terhempas tak berdaya. Ku rasakan sunyi, sepi, dingin. Peluru itu bersarang di badanku. Entah TNI atau OPM yang menembakkub, aku tak tahu. Aku hanya dapat berkata.
“Mama, inilah aku Albert Mathius Putramu. Telah cukup pengapdianku pada sukuku. Kini aku pergi meninggalkanmu bersama merah putih ditanganku. Selamat tinggal mama, maafkan segala kesalahanku putramu ini”.
Semua gelap. Hanya tinggal desiran angin dingin yang menemani kepergianku.

Tunggu Aku Di Surga


Mentari berangsur-angsur lenyap, pertanda hari mulai lelap, bergantian datangnya gelap. Tiba-tiba langit mendengus, memacarkan pijaran-pijaran cahaya, suaranya menggelegar, memekik gedang telinga. Kupercepat langkahku karena air hujan telah mengguyur tubuh kecilku. Tubuhku mulai menggigil, namun aku tak peduli, terusku menerobos hujan yang semakin deras.
            Tiba dirumah, aku langsung disuguhi sandiwara kehidupan yang memilukan. Aku melihat Bunda mengemasi barang-barangnya bersama kak Ayu dan adikku Monita. “Bunda mau kemana?” tanyaku gusar. “Maaf Nez, Bunda harus pergi. Bunda dan Ayahmu sudah tidak mungkin bersatu lagi,” kata Bunda.” Tapi Bunda…….. Inez ingin ikut bunda!” pintaku memelas.” Sekali lagi Bunda minta maaf Nez. Bunda tidak bisa membawamu pergi. Kamu harus tetap disini bersama Ayahmu. Bunda harap kamu mengerti,”tutur Bunda. ”Ta….ta…..pi……!” belum sempat aku selesai bicara, kak Ayu sudah memotong. ”Sudahlah Inez. Kamu sudah cukup dewasa untuk memahami perasaan Bunda. Kamu hanya akan membuat Bunda sedih, karena kamu akan selalu mengingatkan Bunda pada kematian Nara !”kata kak Ayu dengan pedas. “Baiklah, kalau memang jauh dari Inez bisa  membuat Bunda bahagia,” kataku mengalah dan berlalu meninggalkan mereka. Aku langsung berganti pakaian dan mengurung diri didalam kamar.
            Diluar, hujan masih belum reda. Sepertinya alam juga ikut menangis melihat Htiku yang sedang hancur berkeping – keeping. Rasanya aku ingin sekali menangis. Namun aku berusaha kuat. Bagiku menangis hanya membuatku lemah. Karena itu aku bertekad untuk tidak membiarkan air mataku menetes walau hanya satu tetes.
            Tiba – tiba pintu kamarku diketuk seseorang. “Non Inez, nyonya akan pergi sekarang. Apa Non Inez tidak mau menemui nyonya untuk yang terakhir kali?” Tanya mbak Iin pembantuku. Lidahku terasa kelu, aku tak mampu menjawab sepatah katapun. “Baiklah Non, saya tidak akan memaksa Non Inez!” kata mbak Iin sambil berlalu. Aku masih mematung. Beberapa saat kemudian aku membuka jendela kamarku. Samar – samar kulihat Bunda dan kedua saudaraku masuk kedalam mobil. Perlahan mobil itu meluncur menerobos hujan yang masih belum reda.
            Lalu kurebahkan tubuhku di ranjang. Aku merenung, mengingat peristiwa enam bulan yang lalu saat adikku Nara yang masih kecil meninggal dunia. Semua orang termasuk Bunda menyalahkanku. Memang pada waktu itu akulah yang menjaga Nara. Namun karena keteledoranku Nara mengalami kecelakaan.
             Sejak saat itulah sikap bunda mulai berubah padaku. Mungkin setiap melihatku Bunda akan selalu ingat pada kematian Nara. Bukan hanya Bunda tapi juga kak Ayu. Ia sepertinya juga tidak menyukaiku.
            Badai menerpa keluargaku lagi, semenjak kematian Nara, Ayah dan Bunda sering bertengkar. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Dan hari ini Bunda benar – benar meninggalkanku.
            Malam semakin larut. Akupun terlelap dalam mimpi panjangku. Saat aku terbangun dari tidurku. Aku merasakan sakit pada sekujur tubuhku. Sepertinya tubuhku demam karena kehujanan kemarin. Mbak Iin segera menghubungi pihak sekolah untuk meminta izin. Saat aku sedang sarapan, kepalaku terasa pusing dan akupun tak sadarkan diri.
            Saat aku siuman. Aku merasa berada ditempat asing. Mbak Iin dan Pak Uud, sopir pribadiku duduk disampingku dengan raut wajah diliputi rasa cemas dan was – was. “Aku dimana Mbak?” tanyaku dengan lemah. “Tadi non pingsan, jadi kami membawa non Inez k erumah sakit. Tadi saya sudah berusaha menghubung nyonya dan tuan, tapi mereka sulit sekali dihubungi, mungkin mereka terlalu sibuk,” Kata mbak Iin panjang lebar. “Ya sudah mbak! Terimakasih karena kalian masih peduli padaku”, kataku lagi. Mbak Iin dan Pak Uud hanya memandangiku dengan iba.
            Keesokan harinya aku diperbolehkan pulang. Sebelum pulang dokter berpesan. “Saya harap, satu minggu lagi anda bisa dating kemari dengan keluarga anda”, kata dokter. “Memang ada apa dok?” tanyaku penasaran. Saya hanya bisa mengatakannya satu minggu lagi, untuk memastikan penyakit yang anda idap.” Kata dokter. Aku mengangguk lemah, meskipun diliputi sejuta pertanyaan.
Hari berikutnya, aku sudah masuk sekolah seperti biasa. Disekolah aku menjalani kehidupanku seperti anak normal lainnya. Tertawa bersama, mencontek, beramai – ramai ke kantin bahkan juga ketiduran dikelas. Aku tidak mau terlalu larut dalam kesedihan. Karena itu aku tidak mau mencampur adukkan masalah dirumah dengan disekolah.
 Satu minggu telah berlalu. Aku sudah berusaha menghubungi kedua orang tuaku, namun mereka terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dengan di antar Pak Uud aku pergi ke rumah sakit. Sebelum masuk aku menyuruh Pak Uud pulung terlebih dahulu. Setelah mengantri cukup lama, akhirnya tiba juga giliranku. Aku terpaksa berbohong dan mengatakan pada dokter kalau orang tuaku sedang di luar negeri dan aku tinggal sendiri di rumah. Sepertinya dokter itu percaya pada ucapanku.
            Sang dokter hanya tersenyum simpul. Lalu dokterpun bercerita panjang lebar tentang arti kehidupan. Perjuangan hidup juga arti keikhlasan. Sampai akhirnya cerita dokter berujung pada satu titik. Aku divonis mengidap kanker otak.
            Aku berjalan gontai meninggalkan rumah sakit. Akhirnya aku putuskan untuk tidak langsung pulang. Aku duduk di taman kota sambil merenung. Kutatap kolong langit yang sendu. “Ya Tuhan… kalau memang Engkau menghendaki semua ini demi kebaikanku, maka aku hanya bisa pasrah. Aku tahu, Engkau mengetahui apa yang tidak aku ketahui, maka ikhlaskanlah hatiku memerima ujian dari-Mu”, do’aku dalam hati. Air mataku hamper tumpah, namun aku berusaha menahan dan tetap tersenyum dengan kecut meratapi skenario kehidupanku.
Keesokan harinya, aku pergi kesekolah dan menjalani aktifitas seperti biasa. Sepulang sekolah, aku duduk di taman sekolah. Tiba – tiba Alea sahabatku sudah duduk disampingku. “Kamu kenapa Nez?” Tanya Alea. Aku menatapnya sejenak lalu memalingkan wajahku. “Kamu itu sahabatku dari kecil Nez, darii pancaran matamu sajasudah  bisa terbaca jelas kalau kamu ada masalah”, katanya panjang lebar.
Kemudian aku ceritakan semuanya pada Alea, tentang perceraina kedua orang tuaku, tentang kepergian bunda dan kedua saudaraku juga tentang penyakitku. “Kalau kamu ingin mencurahkan kesedihanmu dengan menangis, menangislah Nez. Mungkin itu bisa membuatmu lega,” kata Alea dengan mata berkaca – kaca.” Untuk apa?” tanyaku. “Menangis tidak akan menyelesaikan masalahku!” kataku datar. Alea menatapku dengan tatapan sendu. Air matanya mengucur deras. “Sudahlah Alea kamu tidak perlu bersedih. Mungkin ini memang jalan takdirku,”kataku menghiburnya. ”Inez, sahabatku, setegar itukah hatimu. Dulu saat semua orang menyalahkanmu akan kematian Nara kamu sama sekali tidak menangis. Bahkan saat orang tuamu bercerai dan Bundamu meninggalkanmu kamu masih bisa tersenyum. Dan sekarang penyakitmu juga tidak membuatmu meneteskan air mata, malahan en ktakau menghiburku, ”kata Alea. “Aku hanya tidak tahu dikasihani,” kataku datar. “Al bolehkah aku minta satu permintaan terakhir?” tanyaku bersungguh-sungguh. Ia mengangguk “Tolong antarkan surat ini kepada Bundaku, ini alamatnya,”pintaku sembari menyodorkan amplop. Ia mengangguk.
Sebelum pulang ke rumah, aku pergi ke makam Nara dengan diantar Pak Uud. Aku ingin mencurahkan perasaanku kepada Nara. “Nara…. Kakak lelah…. lelah sekali. Kakak sangat merindukanmu. Kakak ingin menyusulmu. Tunggu Kakak Nara,…. tunggu kakak di Surga,”kataku lemah. Tiba-tiba kepalaku terasa sakit dan duniaku terasa gelap. Aku seperti melihat Nara menggenggam tanganku dan aku hanya mengikutinya. Ia menuntutku ke suatu tempat yang membuatku merasa damai.
Sementara itu, Pak Uud yang melihat keadaan  itu segera membawaku ke rumah sakit. Dokter keluar dari ruanganku dan berkata “Maaf Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain”. Pak Uud terjatuh di lantai “Innalillahi wa innaillahi rajiun”, katanya lemas.
Alea memenuhi janjinya. Ia mengantarkan surat itu kepada Bunda. Saat tiba di sana, ternyata Bunda sudah mendapat kabar dari Pak Uud. Alea yang mengetahui kabar tersebut lemas dan shock. Dengan berlinangan air mata Bunda membuka  dan membaca surat itu.
Bandung, 19 Maret 2007
Teruntuk Bunda Yasmin
Tercinta
Bunda…. Inez tahu Bunda kecewa dan menderita Karena kepergian Nara. Kalau memang jauh dari Inez bisa membuat Bunda bahagia, Inez akan pergi. Meskipun begitu Bunda harus tahu, walaupun nanti kita akan berada di ruang waktu dan dimensi yang berbeda, percayalah Inez akan selalu menyayangi Bunda. Maafkan Inez Bunda dan terima kasih Karena Bunda pernah menjadi bagian hidup Inez yang paling indah.
Kutunggu Bunda di Surga
Ananda tercinta
Inez   
Setelah membaca surat itu. Bunda mengusap air matanya. Inez…..tunggu Bunda di Surga! Kata Bunda lirih.

KU PINANG KAU DI SURGA


Suatu hari ada seorang cowok yang bernama Riko. Dia adalah cowok yang baik juga pandai. Riko pun sudah bekerja sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Saat itu, Riko sedang menjalin percintaan dengan cewek yang bernama Rara. Rara adalah seorang gadis yang masih duduk di bangku kuliah. Mereka berdua sudah cukup lama menjalin hubungan percintaan. Tetapi ayahnya tidak merestui hubungan mereka berdua. Karena sesuatu yang menurut adat  Jawa banyak rintangan yang tidak boleh dilanggar. Padahal mereka berdua saling mencintai.
“Jangan pernah berhubungan lagi dengan cewek itu…” Ujar ayahnya.
“Ta…ta..pi yah…” jawab Riko sambil bersedih hati.
“Pokoknya jauhi cewek itu…” ayahnya menjawab dengan keras kepala.
 Riko hanya bisa berdiam diri dan bersedih merasakan sakit hati oleh perkataan yang diucapkan ayahnya.
Pagi hari mentari menyinari hati Riko yang sedang redup, dia menatap langit dan teringat perkataan ayahnya kemarin. Riko bingung mana yang harus ia pilih. Dia memikirkan sambil duduk termenung.
Sudah berbulan – bulan ayahnya menderita penyakit ginjal. Tetapi ayahnya merahasiakan penyakit yang ia derita.
Beberapa waktu kemudian ayahnya menulis sesuatu di sebuah lembaran.
Untuk anakku tersayang!
“Riko, sebelum ayah pergi untuk selama – lamanya, ayah pesan kepadamu. Jauhilah cewek itu karena ayah sayang kamu. Dan jagalah ibu dan adik kamu sebaik mungkin. Sebenarnya ayah menderita penyakit ini sudah lama, tapi ayah tidak ingin merepotkan kalian semua. Jadilah anak yang berbakti kepada orang tua.”


 


Ayah
Beberapa hari kemudian Riko menemukan surat itu dibawah kasur ayahnya, setelah ayahnya pergi untuk selama – lamanya. Kemudian surat itu dibaca oleh Riko. Saat Riko membaca surat tersebut, Riko menangis dan merasa bersalah kepada ayahnya.
Suatu hari Riko memberanikan diri untuk berterus terang kepada Rara, entah apa yang akan terjadi nanti. Riko menghampiri Rara.
“Rara… aku mau bicara kepadamu!” Tanya Riko.
“Tentang apa?” Jawab Rara.
“Tapi… kamu harus janji, jangan marah dan membenciku ya…!!!” Tanya Riko.
“Sebenarnya ada apa sih….?” Kenapa kamu jadi kaya’ gini…!!!” Jawab Rara.
 Riko bingung harus cerita kepada Rara.
“Riko… kamu mau bicara apa?”  Riko terkejut mendengar ucapan Rara barusan.
“Maaf Rara… sebaiknya hubungan kita cukup sampai disini.” Jelas Riko.
“Apa maksud kamu? Apakah kamu sudah punya cewek baru?” ucap Rara dengan nada yang keras.
“Bukan itu maksudku Rara…!!! Jangan salah pengertian dulu, aku akan jelasin kenapa aku berbicara seperti ini…!!” jawab Riko dengan nada halus.
Rara tidak menghiraukan ucapan Riko, dia menangis dan marah – marah kepada Riko.
“Rara… hubungan kita ini tidak sejalan, ayahku tidak menyetujui hubungan kita. Karena jarak kita berlawanan. Aku mohon kamu bisa ngerti’in perasaanku. Ra… aku juga sayang sama kamu, tapi percuma saja kalau cinta kita tidak direstui. Pasti semua akan sia – sia.” Jelas Riko.
“Sebenarnya aku tidak sanggup untuk lalui jalan ini tanpa kamu, tapi… kalau kamu menginginkan seperti itu, dengan berat hati akan kuturuti kemauanmu.” Rara sedih dan menangis tersedu – sedu, Riko pun tidak tega melihatnya.
Riko merasa bersalah karena dia telah melukai perasaan Rara.
“Walaupun cinta kita tak direstui, tapi yakinlah cinta ini akan terus mengalir untukmu Ra…” ucap Riko dengan nada tersendat – sendat.
“Iya Riko… aku ngerti, ya sudah aku mau pulang.” Jawab Rara sambil menangis.
Setelah sampai di rumah, Rara masuk kamar dan bersedih hati. Iapun menulis sebuah puisi


Begitu indah bila ku ingat
Saat manis perjalanan cinta
 Tapi begitu pedih bila ku ingat
Akhirnya perpisahan yang kau pinta
Pengorbananku yang sia – sia
Kenapa ini berakhir di akhir cerita?
Akan ku bakar semua tentangmu
Aku benci semua
Berhari – hari tidak ada kabar dari Rara. Merekapun juga tidak pernah berkomunikasi lagi. Riko yang merasa bersalah banget kepada Rara. Sampai – sampai begitu besarkah kebencian Rara kepada Riko. Kemudian Riko melanjutkan pekerjaanya lagi. Hingga akhirnya Riko melupakan sosok Rara.
Beberapa bulan kemudian, Riko pun tiba – tiba teringat oleh sosok Rara. Tetapi Riko pun tetap menjaga pesan ayahnya sebelum meninggal. Akhirnya sampai sekarang, Riko belum bisa menemukan pengganti Rara. Hingga akhirnya Riko menanti dan terus menanti seseorang yang menurut ayahnya lebih baik dari sosok Rara.
Seiring berjalannya waktu, musim pun berganti. Namun cinta Riko kepada Rara tak dapat kandas ditelan sang waktu. Karena terlalu memikirkan Rara akhirnya Riko pun jatuh sakit. Penyakitnya semakin parah ketika mendengar Rara telah dilamar orang lain. Hingga akhirnya Riko pun menyusul ayahnya. Sebelum meninggal Riko sempat menulis surat untuk Rara. Rara membaca surat Riko dengan berlinangan air mata.

Untuk kekasihku Rara
Mungkin, beribu maaf yang aku ucapkan tak sanggup menghapus segala luka hatimu. Tapi percayalah, dihatiku hanya terukir namamu. Jika memang cinta kita tak dapat dipersatukan didunia. Aku harap Tuhan akan menyatukan cinta kita di surga.


Riko

Jangan Nakal Kakak…!



Botol minuman yang berserakan di lantai malam itu menemani hari – hariku yang dipenuhi dengan kegundahan. Berbagai masalah yang menyerang otakku semua kularikan pada setengguk alcohol yang seakan dapat menerbangkanku ke atas awan.
Mentari seakan tak mendukungku untuk mendinginkan fikiranku. Sengatannya menambah panas fikiranku yang sudah diselimuti percikan – percikan api.
“Hei kamu…! Jangan kau ganggu dia lagi, atau nyawamu akan melayang didepan mataku!”
“okey…! Saya takkan pernah mendekatinya selama dia mencintaimu, ingat jagan paksa dia untuk mencintaimu!”
Anganku menerawang jauh menembus langit menyusuri pedihnya kehidupan di dunia ini. Aku tak dapat memusnahkan dirinya dalam hatiku. Tetapi dengan berbagai masalah yang timbul akhirnya sedikit demi sedikit aku dapat menghancurkan bayangan dirinya yang menurutku hanya seperti fatamorgana kehidupan.
Hanya satu tempat mengadu semua masalahku setelah yang di atas. Orang yang telah mendidikku dari kecil hingga aku dewasa. Sang bunda yang tak pernah lelah membimbingku untuk mengambil tindakan yang paling tepat dalam kehidupan ini.
“Bu… bagaimana dengan masalahku yang terlalu rumit seperti ini?”
“Sudahlah nak, mungkin dia memang bukan jodohmu, bila memang jodoh maka tak akan kemana!” tutur bunda dengan nada lembut.
“ingat nak, kamu hidup tanpa saudara, setelah ibumu ini sudah tak kuat lagi untuk merasakan nikmatnya bekerja, maka hanya kamu sendiri yang dapat menentukan keputusan terbaik.”
Pesan – pesannya yang selalu memberiku motivasi untuk terus maju hanya ku angga angin lewat yang kemudian berlalu entah kemana perginya. Hatiku sudah membeku untuk mendapat nasehat – nasehat darinya. Minum – minuman keras, judi, dan berbagai tindak kejahatan lainnya seakan sudah menjadi temanku setiap saat setiap waktu. Lebih parah lagi temanku yang hanya jebolan SD itu juga ikut mendukung diriku untuk berbuat jahat.
“Hey Jo… besok malam minggu kita akan mengadakan acara dimana lagi nih?” ujar Heru temanku.
“DImanapun aku siap asalkan ada uang semua bisa beres!” jawabku dengan tidak jelas, karena minuman yang kuminum dari jam 22.00 tadi mulai bereaksi dalam tubuhku.
“Siap bos… kalau masalah duit serahkan pada Ratno… ahli kunci ada padanya!” sahut Heru.
Malam itupun gerombolanku mulai beraksi membobol toko emas yang terkenal di pasar raya tersebut. Ratno mulai membuka kunci dengan keahliannya membobol, Heru mengawasi sekitar. Dan tugas selanjutnya ada padaku, yang selalu mengetahui dimana harta tersimpan. Hidung kucingku sangat sensitive bila telah mengetahui sasaran yang dituju. Kuraup seluruh perhiasan yang ada dalam kotak tersebut. Dan tiba – tiba saya mendengar rintihan dari luar toko.
“Her… dimana dirimu? Sudah kudapat apa yang kita inginkan!” aku tak mendengar sahutan darinya. Ku tengok keluar, tak terlihat satu orangpun ada disana.
BRAK…
Tengkukku dipukul seseorang dari belakang.
“Angkat tangan atau kutembak kau!”
Hatiku ciut, jiwaku mati setelah tahu polisi menyergapku. Dan dengan berbagai bukti yang kuat akhirnya aku ditahan dalam sel selama dua tahun. Pikiranku kalut mengetahui semua itu. Parahnya lagi kedua temanku tak ikut tertangkap. Karena ia melarikan diri tanpa sepengetahuanku ketika ia mengetahui ada polisi datang.
Bundaku syok mendengar semua ini. Ia mendatangi kantor polisi dan memohon izin bertemu denganku.
“Nak… mengapa semua ini bisa terjadi? Kau tau ibumu ini tak punya apa – apa. Engkau yang kuharapkan dapat menggantikan ayahmu yang sudah mulai renta justru membebani keluarga kita dengan berbagai masalah.” Aku hanya tertunduk lesu tanpa membuka mulut sedikitpun. Semua perbuatan jahatku telah mereka ketahui. Akhirnya setelah menjengukku dari kantor polisi bundaku pulang. Dia bermusyawarah dengan keluarga.
“Yah, bagaimana dengan anak kita Bejo? Saya tidak tega melihatnya terkurung dalam sel tahanan. Uang yang kita miliki hanya cukup untuk mengobatkan si kecil Sasha.” Bundaku meminta persetujuan ayah.
“Tidak, Sasha sudah lama mengidap tumor otak, keadaannya semakin kritis. Kalau uang yang kita kumpulkan setiap hari itu untuk menebus kelakuan Bejo, bagaimana dengan Sasha?” ayahku membentak – bentak tanda tak setuju. Sasha yang mendengar pembicaraan kedua orang tuanya tersebut langsung memotong pembicaraan.
“ayah, tidak apa – apa uang tersebut untuk menebus kakak di kantor polisi. Sasha masih kuat ko’ untuk hidup bersama penyakit yang menempel di kepala Sasha.” Kemudian Sasha tersenyum simpul untuk meyankinkan ayahnya.
“Benar nak kamu masih sanggup bertahan?” Ayah menitikkan air mata mengetahui ketegaran Sasha tersebut. Dia merelakan nyawanya demi kakak tercinta.
Dengan tekad bulat kemudian bunda dan ayah pergi ke kantor polisi untuk menebus semua kesalahanku. Akhirnya akupun pulang dengan ditemani kedua orang tuaku. Dalam perjalanan mereka memberi tahu semua yang dilakukan Sasha untukku. Saat itu pula aku menangis tersendu – sendu dan aku berjanji kepada orang tuaku untuk bekerja agar dapat membiayai pengobatan Sasha.
Sesampainya dirumah aku dan kedua orang tuaku bingung karena disitu sudah banyak warga yang berkumpul. Aku menanyakan kepada pak Tono tetanggaku.
“Ada pa pak dengan rumah saya?” tanyaku dengan sedikit tergesa – gesa.
“Itu nak, tadi waktu aku ingin bertemu dengan ayahmu aku pergi kesini. Aku memanggil dia tetapi tak kunjung datang. Kulihat pintu ternyata tak terkunci. Aku langsung saja masuk. Baru membuka pintu aku kaget. Adikmu terkapar dilantai dalam keadaan koma. Beberapa menit kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya.”
Ketika aku masuk kamarnya aku menemukan selembar kertas yang ada diatas meja. Kertas itu masih berada di tumpukan yang paling atas. Mungkin Sasha baru saja menulisnya.
Untuk kakakku, ayah dan bunda.
Kuucapkan selamat pada kakak semoga dapat keluar dari sel pertahanan. Jangan nakal lagi ya kak! Bantulah ibu yang tiap hari bekerja keras untuk mencukupi keluarga kita. Untuk ayah. Maaf yah Sasha berbohong. Ini semua kulakukan demi kakak. Saya ikhlas yah! Ayah jangan marah pada bunda, karena jika Sasha meninggalkan kalian bukan salah bunda. Tetapi ini semua takdir Allah SWT. Selamat tinggal bunda, selamat tinggal ayah, selamat tinggal kakak.
Sasha
Aku bingung harus melakukan apa, orang tuaku sudah nmendengar sendiri apa yang di ucapkan pak Tono. Aku berusaha tegar, tetapi tak sanggup. Semua ini terjadi karena kesalahanku. Aku merasa terkutuk akan semua ini.
setelah semua kejadian itu ayahku jatuh sakit. Dia selalu terbayang – bayang dengan Sasha. Dalam diam dia selalu menyebut nama Sasha. Ibuku yang masih sehat berusaha untuk menenangkan hatinya dan berdo’a kepada Allah SWT supaya ayah diberi kesembuhan. Aku tak ingin kehilangan mereka setelah meninggalnya adikku. Aku bekerja keras untuk membiayai mereka. Sekarang tulang punggung keluarga ada ditanganku. Selamat jalan Sasha. Semoga kau tenang di alam sana. Aku selalu menyayangimu.